Langsung ke konten utama

Pion Putih Kecil


Aku adalah pion putih kecil.

Tubuhku yang kecil dan ringkih ini selalu menjadi bulan-bulanan. Belum lagi langkahku ketika bergerak, terengah-engah menyusuri satu demi satu bidang papan peperangan. Lihatlah para petinggi, seperti Benteng yang dapat bergerak jauh, lurus maju ataupun menyamping. Atau Menteri yang dapat bergerak diagonal sejauh apapun yang dia mau. Atau seperti kanjeng Ratu yang dapat bergerak bebas mengombinasikan gerak Benteng dan Menteri. Atau sesederhana Kuda yang dapat bergerak melompati pasukan lain.




Aku adalah pion putih kecil.

Aku tergabung bersama pasukan putih, seperti warna cat yang menyelubungi tubuhku. Warna yang melambangkan kesucian. Di seberang sana sudah menunggu pasukan hitam yang akan menjadi lawan kami. Terkadang juga kami melawan pasukan merah atau cokelat. Warna apa saja. Aku tidak peduli, asalkan aku dibutuhkan, aku pasti siap berperang demi kehormatan.

Aku adalah pion putih kecil.

Dalam rombongan pasukan, aku selalu berada pada baris terdepan. Di belakangku, berdiri dengan gagah para petinggi kaum kami. Ada Benteng, Kuda, Menteri, kanjeng Ratu, dan tokoh paling penting dalam peperangan ini, sang Raja. Kurasa mereka cukup aman berada di belakangku. Setidaknya sampai sang Kuasa memerintahkan kami untuk bergerak. Kami tidak dapat menentukan jalan hidup kami sendiri. Ada sang Kuasa yang mengatur strategi dan memutuskan arah pergerakan kami.

Aku adalah pion putih kecil.

Kali ini rupanya sang Kuasa memilihku untuk bergerak memulai peperangan. Ini merupakan peraturan sejak dahulu kala, dimana pasukan putih diberi keistimewaan menyerang lebih dulu. Peraturan turun temurun, bahkan sejak mendiang kakek buyutku masih aktif menjadi prajurit. Kakek buyutku yang gagah dan terbuat dari kayu jati. Yang kini telah dijadikan gantungan kunci.

Aku adalah pion putih kecil.

Pandanganku tajam menatap lurus ke depan, ke arah para pasukan hitam yang tampak beringas. Tak kuketahui pasti bagaimana nasib kawan-kawanku yang lainnya. Aku anti menatap ke belakang. Sekali maju, pantang mundur. Begitulah prinsip yang diajarkan para moyangku. Tak terhitung berapa kali aku dihina atas prinsip yang aku anut. Dikatakan bodoh, keras kepala, bebal, sok suci dan banyak lagi. Hanya karena aku tak mau lari dari peperangan.

Aku adalah pion putih kecil.

Tanpa terasa peperangan sudah semakin sengit. Beberapa petinggi sudah tumbang keluar dari bidang peperangan. Baik dari pasukan kami maupun dari pasukan hitam. Rekan-rekanku sesama pion pun sudah banyak yang berguguran. Setelah kuamati, hanya tertinggal kanjeng Ratu, Menteri, dua Benteng, dan beberapa pion tersisa di pasukan putih. Pasukan hitam ternyata lebih mengenaskan dengan hanya menyisakan Benteng dan Menteri. Sang Kuasa menggerakkan kami bergantian untuk menyerang. Kanjeng Ratu dan Menteri terus-menerus mengejar sang Raja kubu lawan.

Aku adalah pion putih kecil.

Kulihat pertahanan pasukan lawan sudah semakin terbuka. Sang kuasa pun semakin bersemangat untuk mencapai kemenangan. Tidak kuduga sebelumnya, sang Kuasa menggerakkanku menuju daerah lawan. Sendirian. Lagi, ternyata aku hanya dijadikan umpan untuk menekan Raja lawan. Para petinggi terlihat asyik membentuk formasi penyerangan dari belakang. Pasukan lawan tampak mati-matian mempertahankan Raja mereka.

Aku adalah pion putih kecil.

Kurasa sang Kuasa sudah bertindak terlalu jauh. Saat keadaan dimana posisi Menteri terancam, ia menjadikanku tameng. Aku pun tak punya pilihan lain. Aku bahkan terlalu ngeri untuk menatap sang Benteng lawan yang berdiri congkak di depanku. Selanjutnya bisa ditebak, si Benteng lawan keparat tanpa ampun langsung menyerangku. Membuatku harus meninggalkan arena peperangan. Tak ada niatan lagi untuk menyaksikan jalannya peperangan. Aku terlalu kecewa. Kecewa terhadap diriku sendiri yang selalu dikorbankan.

Aku adalah pion putih kecil yang malang, yang selalu dijadikan alat untuk menang.



Jakarta, 12 Juni 2015
ditemani riuh suara jangkrik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepuluh Menit Saja

aku akan meminta sesuatu yang sangat berharga tak tahukah kamu bahwa waktu tak bisa kembali? maka aku tak akan banyak merampasnya darimu ku cukupkan sepuluh menit saja sepuluh menit saja waktu ku susun kata-kata yang saling merangkai sepuluh menit saja dan biarkan ku tenggelam dalam kegugupanku sepuluh menit saja lalu ku raih dengan lembut kedua tanganmu sepuluh menit saja izinkan sejenak ku menghela nafas sepuluh menit saja ku tatap kedua bola mata mematikan itu sepuluh menit saja kubuang semua perasaan ngeri yang menertawakanku sepuluh menit saja lalu ketakutanku habis tak bersisa sepuluh menit saja dan akan terdengar puisi terindah di hidupmu bolehkah kuminta waktumu sepuluh menit saja? Jakarta, 27 Juli 2015 mengenang saat dulu menyatakannya padamu

Dia yang Akan Pergi

Aku masih terbaring lemas sehabis pulang dari rutinitasku yang membosankan. Di kamar kost sempit yang kusewa dari seorang Bapak tua pensiunan tentara. Sambil tetap berbaring kupandangi sekeliling ruangan. Langit-langit yang mulai menguning terkena bocoran hujan. Dinding kusam yang sebagian cat-nya mulai mengelupas. Di sudut ruangan bertumpuk buku-buku pegangan selama perkuliahanku di sini. Buku-buku tebal yang bahkan hanya beberapa kali kubaca. Tepat di sebelahnya ada radio tua yang kubeli di pasar loak ketika awal aku masuk kuliah. Yang sengaja kunyalakan untuk mengusir rasa sepi. Entah mengapa hari ini aku merasa lebih sepi dari biasanya. Aku merasa kosong. Aku tak tahu kenapa, sampai akhirnya mataku tertuju pada sebuah pas foto di atas meja belajarku. Ada gambar yang terpasang di sana. Foto yang diambil ketika kami sedang berkunjung ke sebuah taman kota. Teringat perkataannya sore tadi saat kita berpapasan.

Angin dan Kenangan

Sekarang takdir membawaku ke sini. Sebuah pantai indah yang tersembunyi di ujung barat pulau Jawa. Tak banyak manusia yang berlalu lalang. Hanya ada aku dan hamparan pasir di sepanjang mata memandang. Suara debur ombak berkejaran menimbulkan harmoni yang menghanyutkan. Matahari terasa mulai menyengat walau ini masih pukul sembilan. Aku memutuskan bernaung di bawah sebuah pohon rindang yang bahkan tak kuketahui apa jenisnya. Daun-daun pohon bergemerisik saling bergesekan dihempas angin pantai yang jumawa. Dan seketika memori itu seakan ditarik dengan paksa dari ruang terdalam di pikiranku. Hempasan sang angin yang meneduhkan, membuatku nyaman. Seperti kenyamanan yang dulu telah kau berikan. Kenyamanan yang mengesankan. Membunuh pelan-pelan. Tanpa kau sadari.