Langsung ke konten utama

Angin dan Kenangan

Sekarang takdir membawaku ke sini. Sebuah pantai indah yang tersembunyi di ujung barat pulau Jawa. Tak banyak manusia yang berlalu lalang. Hanya ada aku dan hamparan pasir di sepanjang mata memandang. Suara debur ombak berkejaran menimbulkan harmoni yang menghanyutkan. Matahari terasa mulai menyengat walau ini masih pukul sembilan. Aku memutuskan bernaung di bawah sebuah pohon rindang yang bahkan tak kuketahui apa jenisnya. Daun-daun pohon bergemerisik saling bergesekan dihempas angin pantai yang jumawa. Dan seketika memori itu seakan ditarik dengan paksa dari ruang terdalam di pikiranku. Hempasan sang angin yang meneduhkan, membuatku nyaman. Seperti kenyamanan yang dulu telah kau berikan. Kenyamanan yang mengesankan. Membunuh pelan-pelan. Tanpa kau sadari.




Saat itu kita sedang bersiap mengikuti Ospek, kau ingat? Teriakan-teriakan tak bermakna dari para kakak tingkat menambah panas suasana kampus yang sebenarnya cukup rindang. Kita, para mahasiswa baru, diperintah untuk duduk di tengah lapangan dalam kondisi matahari yang sangat terik. Dan hal yang lebih buruk, aku menjalaninya di tengah keadaan berpuasa. Kau duduk beberapa baris di depanku dan sepertinya sengaja agar kuperhatikan. Beberapa kali tak sengaja mata kita beradu pandang ketika kau berbicara dengan teman di belakangmu. Dan kau tersenyum. Asal kau tahu, senyummu sesungguhnya meneduhkan kondisi terik saat itu. Mungkin sebelum kejadian ini kita pernah bertemu, tapi aku tak ingat. Yang kutahu ini adalah waktu kita pertama kali bertemu.

Mengapa angin? Mengapa tidak hujan yang membawa kenangan? Untuk beberapa orang lain dalam kehidupanku, hujan memang memberi arti yang dalam tentang kenangan, tapi tidak untukmu. Kau adalah angin. Angin yang menenangkan. Atau menghancurkan? 
Beberapa hari setelah Ospek selesai akhirnya kita secara resmi berkenalan. Ketika kau menjabat tanganku jauh di dalam hati aku tak pernah berfikir untuk melepaskannya. Tapi aku tak mau dianggap gila karena terus menggenggam tanganmu. Walau sebenarnya aku telah tergila-gila. Siapa yang tak tergila-gila? Dengan wajah imut menggemaskan, kulit putih, rambut panjang tergerai, postur tubuh ideal, lesung pipi, dan senyum indah, rasanya sulit bagi siapa saja untuk menolak kehadiranmu. Tambah satu lagi, kau sangat ramah, Aura keceriaanmu meluap-luap terpancar keluar.

Di kelas, tanpa kau tahu, aku selalu memperhatikanmu dari belakang. Tak ada niatan jahat, murni hanya untuk melepas dahaga akan keteduhanmu. Samar terdengar suara ketika kau bercengkrama dengan gerombolan temanmu. Lagi, aku tersihir. Mendengar kau tertawa lepas, walau tak terlihat dari belakang, aku tahu bahwa wajahmu pasti akan semakin manis. Aku takut diabetes.

Bagai mendapat durian runtuh, ternyata kita menjadi satu kelompok dalam sebuah mata kuliah. Yang artinya kita akan menjadi lebih sering berkomunikasi. Dan benar saja, tanpa kuduga, kau memilih duduk di sebelahku dibanding dekat dengan anggota kelompok lain. Sebut aku kegeeran, norak, kampungan, atau apa saja. Yang jelas kusenang berada di sampingmu. Suasana kelas cukup panas siang itu, karena cuaca di luar juga sedang ganas-ganasnya. Kulihat kau juga lebih berkonsentrasi dengan kipasmu dibanding melihat kelompok satu yang sedang presentasi di depan kelas. Kalau mau jujur, sebenarnya aku pun merasa demikian, namun kuhiraukan dan tetap menatap lurus ke depan. Ke arah kelompok satu yang sedang presentasi. Tiba-tiba aku merasa sebuah tiupan angin yang lembut mengenai sebagian tubuhku. Ketika ku menoleh ke samping ternyata kau sedang mengarahkan ayunan kipasmu ke arahku sambil tersenyum.

"Gerah ya? Sini deh gue kipasin." katamu ramah.

"Oh, iya makasih ya." Jawabku pelan dan dengan suara agak bergetar. Grogi.

Tak ada kata-kata yang terucap lagi. Suasana kelas juga cukup hening kala itu. Aku tak mau ambil resiko dengan terus mengajakmu berbicara. Setelahnya, kita menjadi semakin dekat. Aku pun jadi semakin tahu bahwa memang dirimu begitu ceria dan menyenangkan. Berbagai kejadian telah kita lalui. Tapi satu yang hampir selalu terjadi. Tindakanmu untuk membuatku nyaman, aksimu untuk selalu mengayunkan kipas saat kau tahu aku sedang merasa gerah dan kepanasan. Saat kelas siang yang panas, saat di kantin yang pengap, saat di selasar gedung yang kurang ventilasi, saat aku selesai bermain futsal, kau selalu mengipasiku. Ketika kutanyakan padamu perihal ini, kau terus menjawab bahwa ini tak beralasan, kau hanya ingin saja mengipasiku, itu saja. Dan akhirnya kutahu bahwa hanya aku yang mendapat perlakuan ini darimu. Aku suka ini.

Tanpa kusadari perasaan itu mulai tumbuh, bukan lagi perasaan untuk seorang sahabat. Ya, tentu kau tahu maksudku. Seiring perjalanan kita, tentu terlalu naif apabila aku tak pernah berharap lebih dari ini. Aku memutuskan untuk mulai bergerak. Namun rupanya aku terlalu bersemangat. Bagimu mungkin pergerakanku terlalu agresif. Kau tak suka itu. Aku tak tahu bagaimana mulanya, tapi yang kurasakan adalah kau perlahan menjauh. Setiap pertemuan kita tak berjalan seperti dulu. Tak ada lagi tawa lepas darimu, yang ada hanyalah tawa formal seperti ketika kau menanggapi candaan orang asing. Mungkin aku sudah menjadi asing. Aku pun tak ingin ini terjadi. Tapi selalu ada pilihan dalam hidup. Aku memilih untuk menuhankan perasaan dibanding logika. Seperti wanita. Bahkan kau bisa membuat akal sehatku mati suri. Sungguh di luar dugaan.

Semester berikutnya kita sudah tak banyak lagi dipertemukan dalam satu kelas. Ini tentu melegakanmu. Kau tak perlu pusing mencari alasan untuk menghindariku. Pun sebenarnya aku sudah sadar sepenuhnya ke mana ini akan bermuara. Hubungan kita akan kembali menjadi seperti dulu. Dulu sekali, seperti saat kita belum saling mengenal. Semburat senyummu pun tak lagi meneduhkan. Cenderung menyesakkan. Melihat kau tertawa pun hati ini sedikit teriris, seolah kau sedang tertawa puas mengejek kebodohanku. Kebodohan yang tetap takkan kusesali. Dan akhirnya, biarlah ini menjadi pelajaran berharga dalam kehidupanku. Bahwa tidak semua yang kita ingin dapat kita raih.

Bagiku, kau tetaplah hembusan angin, namun kini kau menjelma menjadi angin yang menghempaskan, tak lagi meneduhkan. Terima kasih atas setiap setiap sel memori yang kau tanam di otakku.


Sukabumi, 8 Juni 2015
di antara hembusan angin pantai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepuluh Menit Saja

aku akan meminta sesuatu yang sangat berharga tak tahukah kamu bahwa waktu tak bisa kembali? maka aku tak akan banyak merampasnya darimu ku cukupkan sepuluh menit saja sepuluh menit saja waktu ku susun kata-kata yang saling merangkai sepuluh menit saja dan biarkan ku tenggelam dalam kegugupanku sepuluh menit saja lalu ku raih dengan lembut kedua tanganmu sepuluh menit saja izinkan sejenak ku menghela nafas sepuluh menit saja ku tatap kedua bola mata mematikan itu sepuluh menit saja kubuang semua perasaan ngeri yang menertawakanku sepuluh menit saja lalu ketakutanku habis tak bersisa sepuluh menit saja dan akan terdengar puisi terindah di hidupmu bolehkah kuminta waktumu sepuluh menit saja? Jakarta, 27 Juli 2015 mengenang saat dulu menyatakannya padamu

Dia yang Akan Pergi

Aku masih terbaring lemas sehabis pulang dari rutinitasku yang membosankan. Di kamar kost sempit yang kusewa dari seorang Bapak tua pensiunan tentara. Sambil tetap berbaring kupandangi sekeliling ruangan. Langit-langit yang mulai menguning terkena bocoran hujan. Dinding kusam yang sebagian cat-nya mulai mengelupas. Di sudut ruangan bertumpuk buku-buku pegangan selama perkuliahanku di sini. Buku-buku tebal yang bahkan hanya beberapa kali kubaca. Tepat di sebelahnya ada radio tua yang kubeli di pasar loak ketika awal aku masuk kuliah. Yang sengaja kunyalakan untuk mengusir rasa sepi. Entah mengapa hari ini aku merasa lebih sepi dari biasanya. Aku merasa kosong. Aku tak tahu kenapa, sampai akhirnya mataku tertuju pada sebuah pas foto di atas meja belajarku. Ada gambar yang terpasang di sana. Foto yang diambil ketika kami sedang berkunjung ke sebuah taman kota. Teringat perkataannya sore tadi saat kita berpapasan.