Langsung ke konten utama

Dia yang Akan Pergi

Aku masih terbaring lemas sehabis pulang dari rutinitasku yang membosankan. Di kamar kost sempit yang kusewa dari seorang Bapak tua pensiunan tentara. Sambil tetap berbaring kupandangi sekeliling ruangan. Langit-langit yang mulai menguning terkena bocoran hujan. Dinding kusam yang sebagian cat-nya mulai mengelupas. Di sudut ruangan bertumpuk buku-buku pegangan selama perkuliahanku di sini. Buku-buku tebal yang bahkan hanya beberapa kali kubaca. Tepat di sebelahnya ada radio tua yang kubeli di pasar loak ketika awal aku masuk kuliah. Yang sengaja kunyalakan untuk mengusir rasa sepi.

Entah mengapa hari ini aku merasa lebih sepi dari biasanya. Aku merasa kosong. Aku tak tahu kenapa, sampai akhirnya mataku tertuju pada sebuah pas foto di atas meja belajarku. Ada gambar yang terpasang di sana. Foto yang diambil ketika kami sedang berkunjung ke sebuah taman kota. Teringat perkataannya sore tadi saat kita berpapasan.

******

"Hey, jalannya jangan ngelamun dong, nanti nabrak." katanya sambil menepuk bahuku.

"Astaga, ngagetin aja sih, untung gue ga jantungan." sahutku agak keras.

"Ya maaf, lagian jalan kok sambil bengong gitu, nanti kesambet loh." katanya lagi.

Aku diam saja tak menanggapinya. Jujur, mata kuliah terakhir tadi telah menghabiskan separuh energiku hari ini.

"Yah, kok diem aja sih? Maafin ya? Please, please, please." katanya lagi karena melihat aku tak menanggapi.

"Iya, bukan karena lo kok, ini gue lagi banyak pikiran aja." aku memilih tak memperpanjang masalah.

Namanya Angel. Seorang wanita yang cantik. Tubuhnya terbilang tinggi untuk ukuran wanita Asia. Berkulit putih bersih khas warga keturunan. Berwajah oval, tetapi dengan pipi yang tembam. Matanya agak sipit berhiaskan kacamata frame hitam yang selalu setia bertengger di wajahnya. Bibir tipis dengan senyuman manisnya. Rambutnya panjang tergerai melewati bahunya. 

Aku mengenalnya ketika aku sedang iseng makan di kantin kampusnya. Aku dan dia memang berbeda kampus. Dia berkuliah di sebuah kampus negeri ternama, sedangkan aku di sebuah kampus swasta ecek-ecek di seberang kampusnya. Waktu itu keadaan kantin sedang penuh, lalu kulihat dia sedang makan sendiri di meja untuk dua orang. Singkat cerita terjadilah perkenalan itu. Dan setelahnya kami lebih sering bertemu karena lokasi kost yang berdekatan. Entah bagaimana mulanya, kami jadi semakin dekat. Beberapa kali kami menghabiskan waktu berdua untuk makan siang, makan malam, ataupun sekadar jalan-jalan membunuh penat.

"Oh, bagus deh kalau bukan karena gue. Hehehe" dia berkata sambil sedikit terkekeh.

"Mau ke mana lo sore-sore begini?" tanyaku agak heran karena biasanya kelas dia di semester akhir ini tidak ada yang sampai sore hari.

"Ini, gue abis ngurus berkas buat wisuda. Lo tau sendiri kan gue udah dinyatakan lulus waktu sidang kemarin." dia berkata dengan wajah sumringah.

"Wah, gak kerasa ya udah mau wisuda aja. Gimana? Senang ga?" 

"Senaaang sekali, aku sangat sangat sangaaaat gembiraaaa hahahaha." tawanya yang khas segera memecah ketenangan sore itu.

"Enak ya, kalo gue mungkin baru tahun depan nih. Doain ya!"

"Yee, makanya kalo kuliah tuh yang bener, main melulu sih kerjanya!" katanya sambil memasang ekspresi marah yang dibuat-buat.

Aku memang dipastikan tidak dapat lulus tepat waktu. Ada beberapa matkul dosen sialan yang harus kuulang di semester berikutnya. Masalah sepele, hanya absensi. Tapi mungkin para dosen itu menjadikannya kartu as untuk mempersulitku. Aku sendiri tak tahu sebab mereka begitu membenciku. Ya sudahlah.

"Eh, lo datang kan nanti pas wisuda gue?" tanyanya tiba-tiba.

"Hmm, belum tau. Tapi gue usahakan datang deh."

"Pokoknya harus datang! Kalau sampai ga datang gue bakal ngambek sama lo." kali ini agaknya dia kelihatan serius dengan ucapannya.

"Iya, iya, lihat nanti ya."

"Harus lah, lo kan udah jadi orang yang penting dalam hidup gue. Hehehe" katanya lagi dengan wajah yang sangat menggemaskan.

Aku orang penting dalam hidupnya? Sedangkan hingga detik ini aku tak tahu perihal hubungan apa yang kujalani dengannya. Dia sudah memiliki kekasih. Sean namanya. Kekasihnya berkuliah di pulau seberang sehingga mereka menjalani hubungan jarak jauh sejak lulus SMA. Dari yang kutahu mereka sudah menjalani hubungan sejak kelas dua SMA. Ya, sudah selama itu.

Dia sudah kuanggap teman dekatku, mungkin setingkat di atas sahabat. Aku bahkan tak tega untuk sekadar jatuh cinta padanya. Tak tahu mengapa, rasanya dia terlalu berharga untuk kucintai. Walau terkadang perasaan itu muncul, tapi dengan sekuat tenaga kuredam agar tidak mengacaukan semuanya.

"Ih, malah bengong dia mah. Janji datang ya?" katanya membuyarkan lamunanku.

"Iya deh. Eh, gue langsung balik ke kost ya, mau lanjut nugas nih. Biar cepet lulus. Hehe." kataku sambil beranjak.

"Oh iya deh, hati-hati ya. See you!" ucapnya lagi sambil melambaikan tangan.

Aku pun hanya membalas perkataannya dengan melambaikan tangan.

******



Ternyata secepat ini waktu berlalu. Dan rasanya aku belum siap menghadapi perpisahan ini. Realistis saja. Selepas lulus dari sana, ia pasti akan cepat mendapat pekerjaan. Dan kemungkinan akan ditempatkan di luar kota. Sementara aku harus terus berkutat di sini. Disibukkan oleh penyusunan skripsi dan segala macam tetek bengeknya. Akan semakin sulit bagi kami untuk bertemu, bahkan sekadar saling sapa lewat SMS atau chat messenger. 

Semua memori sejak perkenalan kami serasa dipaksa keluar saat ku mulai beranjak dari kasurku untuk mengambil pas foto itu. Kupandangi lekat-lekat. Akan tiada lagi senyum ramah itu ketika dia menyapaku tiap bertemu dengannya. Ekspresi wajah kami terlihat begitu bahagia dan lepas. Seakan tak ada masalah yang bisa menghadang saat kami bersama.

Sebulan lagi hari wisudanya akan tiba. Hari di mana mereka akan berkumpul untuk merayakan kelulusan. Hari di mana seluruh kerabat mereka datang untuk mengucapkan selamat. Hari yang menjadi pertanda bahwa mereka akan segera keluar dari kampus dan menghadapi kejamnya dunia luar. Hari di mana akan terdengar koor dari tangis haru para wisudawan. Hari -yang ironisnya- adalah hari mereka akan bertemu untuk berpisah. Dan aku tak suka perpisahan yang dirayakan.

Untukmu Angel; apabila kau bertanya lagi akankah aku datang saat hari wisudamu, sayang sekali jawabannya adalah tidak.

Jakarta, 10 Juli 2015
setelah menerima undangan wisuda seorang kawan pada akhir Agustus 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pion Putih Kecil

Aku adalah pion putih kecil. Tubuhku yang kecil dan ringkih ini selalu menjadi bulan-bulanan. Belum lagi langkahku ketika bergerak, terengah-engah menyusuri satu demi satu bidang papan peperangan. Lihatlah para petinggi, seperti Benteng yang dapat bergerak jauh, lurus maju ataupun menyamping. Atau Menteri yang dapat bergerak diagonal sejauh apapun yang dia mau. Atau seperti kanjeng Ratu yang dapat bergerak bebas mengombinasikan gerak Benteng dan Menteri. Atau sesederhana Kuda yang dapat bergerak melompati pasukan lain.

Hanya Tinggal Merelakan

Gue melirik jam tangan hitam di lengan kiri gue. Jarum pendek jam menunjuk ke angka lima sekarang. Sudah sore rupanya. Suasana kampus terlihat cukup sepi. Tinggal tersisa sekumpulan mahasiswa kerajinan yang masih ada di sini. Ada sebuah sudut di kampus dekat parkiran yang cukup teduh karena dinaungi sebuah pohon besar. Di sinilah gue berada. Duduk di bangku semen yang terletak paling ujung dekat pagar kawat. Dari sini gue bisa bebas melihat ke arah gedung perkuliahan tanpa terlihat oleh orang-orang di sana. Tempat yang sangat strategis untuk menyendiri di kala ga ada kelas.  Gue buka notes kecil bersampul hitam gue dan mulai menuliskan apa saja. Sambil sesekali memperhatikan kegiatan mahasiswa di gedung kuliah. Terlihat sebagian mahluk-mahluk bajingan teman satu tongkrongan gue. Rasanya terlalu malas untuk gue samperin. Mereka ga akan bisa ngobrol kalau tanpa menghisap rokok. Gue ga suka baunya. Berlagak cuek aja toh mereka ga bisa lihat gue di sini. Gue kembali coba

Angin dan Kenangan

Sekarang takdir membawaku ke sini. Sebuah pantai indah yang tersembunyi di ujung barat pulau Jawa. Tak banyak manusia yang berlalu lalang. Hanya ada aku dan hamparan pasir di sepanjang mata memandang. Suara debur ombak berkejaran menimbulkan harmoni yang menghanyutkan. Matahari terasa mulai menyengat walau ini masih pukul sembilan. Aku memutuskan bernaung di bawah sebuah pohon rindang yang bahkan tak kuketahui apa jenisnya. Daun-daun pohon bergemerisik saling bergesekan dihempas angin pantai yang jumawa. Dan seketika memori itu seakan ditarik dengan paksa dari ruang terdalam di pikiranku. Hempasan sang angin yang meneduhkan, membuatku nyaman. Seperti kenyamanan yang dulu telah kau berikan. Kenyamanan yang mengesankan. Membunuh pelan-pelan. Tanpa kau sadari.