Langsung ke konten utama

Sepuluh Menit Saja

aku akan meminta sesuatu yang sangat berharga
tak tahukah kamu bahwa waktu tak bisa kembali?
maka aku tak akan banyak merampasnya darimu
ku cukupkan sepuluh menit saja

sepuluh menit saja
waktu ku susun kata-kata yang saling merangkai

sepuluh menit saja

dan biarkan ku tenggelam dalam kegugupanku

sepuluh menit saja

lalu ku raih dengan lembut kedua tanganmu

sepuluh menit saja

izinkan sejenak ku menghela nafas

sepuluh menit saja

ku tatap kedua bola mata mematikan itu

sepuluh menit saja

kubuang semua perasaan ngeri yang menertawakanku

sepuluh menit saja

lalu ketakutanku habis tak bersisa

sepuluh menit saja

dan akan terdengar puisi terindah di hidupmu

bolehkah kuminta waktumu

sepuluh menit saja?



Jakarta, 27 Juli 2015
mengenang saat dulu menyatakannya padamu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pion Putih Kecil

Aku adalah pion putih kecil. Tubuhku yang kecil dan ringkih ini selalu menjadi bulan-bulanan. Belum lagi langkahku ketika bergerak, terengah-engah menyusuri satu demi satu bidang papan peperangan. Lihatlah para petinggi, seperti Benteng yang dapat bergerak jauh, lurus maju ataupun menyamping. Atau Menteri yang dapat bergerak diagonal sejauh apapun yang dia mau. Atau seperti kanjeng Ratu yang dapat bergerak bebas mengombinasikan gerak Benteng dan Menteri. Atau sesederhana Kuda yang dapat bergerak melompati pasukan lain.

Hanya Tinggal Merelakan

Gue melirik jam tangan hitam di lengan kiri gue. Jarum pendek jam menunjuk ke angka lima sekarang. Sudah sore rupanya. Suasana kampus terlihat cukup sepi. Tinggal tersisa sekumpulan mahasiswa kerajinan yang masih ada di sini. Ada sebuah sudut di kampus dekat parkiran yang cukup teduh karena dinaungi sebuah pohon besar. Di sinilah gue berada. Duduk di bangku semen yang terletak paling ujung dekat pagar kawat. Dari sini gue bisa bebas melihat ke arah gedung perkuliahan tanpa terlihat oleh orang-orang di sana. Tempat yang sangat strategis untuk menyendiri di kala ga ada kelas.  Gue buka notes kecil bersampul hitam gue dan mulai menuliskan apa saja. Sambil sesekali memperhatikan kegiatan mahasiswa di gedung kuliah. Terlihat sebagian mahluk-mahluk bajingan teman satu tongkrongan gue. Rasanya terlalu malas untuk gue samperin. Mereka ga akan bisa ngobrol kalau tanpa menghisap rokok. Gue ga suka baunya. Berlagak cuek aja toh mereka ga bisa lihat gue di sini. Gue kembali coba

Angin dan Kenangan

Sekarang takdir membawaku ke sini. Sebuah pantai indah yang tersembunyi di ujung barat pulau Jawa. Tak banyak manusia yang berlalu lalang. Hanya ada aku dan hamparan pasir di sepanjang mata memandang. Suara debur ombak berkejaran menimbulkan harmoni yang menghanyutkan. Matahari terasa mulai menyengat walau ini masih pukul sembilan. Aku memutuskan bernaung di bawah sebuah pohon rindang yang bahkan tak kuketahui apa jenisnya. Daun-daun pohon bergemerisik saling bergesekan dihempas angin pantai yang jumawa. Dan seketika memori itu seakan ditarik dengan paksa dari ruang terdalam di pikiranku. Hempasan sang angin yang meneduhkan, membuatku nyaman. Seperti kenyamanan yang dulu telah kau berikan. Kenyamanan yang mengesankan. Membunuh pelan-pelan. Tanpa kau sadari.