Langsung ke konten utama

Hanya Tinggal Merelakan


Gue melirik jam tangan hitam di lengan kiri gue. Jarum pendek jam menunjuk ke angka lima sekarang. Sudah sore rupanya. Suasana kampus terlihat cukup sepi. Tinggal tersisa sekumpulan mahasiswa kerajinan yang masih ada di sini. Ada sebuah sudut di kampus dekat parkiran yang cukup teduh karena dinaungi sebuah pohon besar. Di sinilah gue berada. Duduk di bangku semen yang terletak paling ujung dekat pagar kawat. Dari sini gue bisa bebas melihat ke arah gedung perkuliahan tanpa terlihat oleh orang-orang di sana. Tempat yang sangat strategis untuk menyendiri di kala ga ada kelas. 

melepaskan, merelakan, bebas, putus, mantan, galau


Gue buka notes kecil bersampul hitam gue dan mulai menuliskan apa saja. Sambil sesekali memperhatikan kegiatan mahasiswa di gedung kuliah. Terlihat sebagian mahluk-mahluk bajingan teman satu tongkrongan gue. Rasanya terlalu malas untuk gue samperin. Mereka ga akan bisa ngobrol kalau tanpa menghisap rokok. Gue ga suka baunya. Berlagak cuek aja toh mereka ga bisa lihat gue di sini. Gue kembali coba menenggelamkan diri ke dalam lautan ide. Baru beberapa menit berkonsentrasi tiba-tiba...

"Hai." terdengar suara sapaan. Seorang wanita.

Gue lalu melirik ke depan mencari sumber suara.

"Oh, hai juga." gue balas sapaan wanita tersebut. "Lho, Cha? Kok belum balik?

Icha namanya. Teman sekelas gue di beberapa matkul. Gue cukup dekat dengan dia. Orangnya asik, bisa menempatkan diri di berbagai macam situasi. Pemikirannya dewasa. Di antara teman wanita lain, gue lebih bisa nyambung kalau bahas hal serius dengan dia.

"Iya, tadi abis rapat BEM, biasalah mau ada event lagi." sahutnya sembari beranjak duduk di sebelah gue
"Ooh" gue hanya bisa ber-ooh ria.
"Aku kira kamu di sana tadi bareng geng Kacau" ujarnya sambil menunjuk ke arah segerombolan manusia.

Geng Kacau adalah nama yang diberikan kepada mahluk-mahluk bajingan yang doyan merokok tadi. Sialnya gue sering dianggap bagian dari mereka. Untuk alasan penamaan, gue rasa sudah cukup jelas.

"Hahaha, engga lah Cha. Lagi mau menyendiri aja, menikmati sore yang cerah." jawab gue sok puitis.
"Oalah, berarti aku ganggu dong?"
"Lo ngerasa mengganggu?"
"Hmm ga tau juga deh."
"Engga kok, ga  ganggu."

Tidak ada pembicaraan lagi setelah itu. Gue lalu melanjutkan kegiatan menulis di notes kecil gue. Sampai akhirnya dia membuka pembicaraan lagi.

"Nulis apa sih? Serius banget?" tanyanya.
"Ada deh, nanti lo liat aja kalo udah gue posting di blog. Haha"
"Ih, kamu mah ditanyain baik-baik juga" ujarnya.
"..."
"Pasti tentang si itu ya?" tambahnya lagi.

Gue cuma bisa tersenyum mendengarnya menyebut nama seseorang. Seseorang yang sudah beberapa tahun ini berbagi rasa sama gue. Namun di tengah perjalanan sepertinya ikatan yang terjalin dengannya tidak terlalu baik.

"Kalo yang tentang dia, udah gue tulis jauh-jauh hari. Dan itu jadi yang terakhir." jawab gue.
"Maksudnya yang terakhir? Kamu udah putus?"
"Sayangnya iya. Setelah gue sadar kalo she's not the one."
"Pertimbangannya?"
"Ga tau, perasaan yang dulu menggebu-gebu sama dia tiba-tiba hilang gitu aja."
"Kok bisa?"
"Entahlah, mungkin emang udah jalannya."
"Yah, kamu mah pasrah banget sih jadi orang. Geregetan ih dengernya."
"Lah, gue yang putus kok jadi elu yang geregetan, Neng? Haha."
 "Ya lagian, setelah beberapa tahun jalan, terus keliatannya juga baik-baik aja kok tiba-tiba putus."
"Yang terlihat baik belum tentu baik." kata gue sok keren.

Gue lantas memasukkan notes beserta pulpen gue ke dalam tas. Menutup resleting tas dan menaruhnya di pangkuan gue. Dan mulai menatap lawan bicara gue.

"Terus setelah itu gimana?" tanyanya lagi.
"Gimana apanya?" kata gue balik bertanya.
"Ya, setelah kamu putus itu. Ngerasa sedih ga? Abis keliatannya kamu biasa-biasa aja selama ini."
"Emang mau gimana lagi? Bikin pengumuman di kantor rektorat gitu?"
"Engga se-ekstrem itu juga sih. Tapi aku mah ga heran, secara kamu kan orangnya dingin banget."
"Nah, itu tau. Selama ini gue kalo menjalin hubungan sama seseorang, ga akan pernah memberikan 100 persen. Gue selalu ngasih batasan buat diri gue. Gue percaya prinsip the higher you climb, the harder you’ll fall."

Gue melihat keadaan sekitar. Sudah makin sepi rupanya. Geng Kacau juga tinggal tersisa beberapa mahluk saja. Gue beralih melihat ke atas memandangi langit sore itu. Indah. Semburat oranye dari matahari yang menuju peraduannya membentuk lukisan alam yang begitu cantik.

"Indah ya langitnya." kata Icha membuyarkan lamunan gue.
"Hmm."
"Seindah kenangan sama si itu ga?" tanyanya dengan raut muka jahil.

Gue tertawa pelan. Selera humor gue untungnya masih nyambung dengan dia. Kalau aja orang lain yang bicara seperti itu, mungkin bakal gue pukulin keluarganya.

"Kurang lebih. Karena biar seindah apapun itu kenangan gue sama dia, itu tetap masa lalu. Gue hidup untuk masa sekarang dan masa depan. I'm not live in the past." gue menjawab dengan sok keren lagi.
"Tapi aku masih penasaran deh, kemarin pas akhirnya terucap kata putus reaksi kalian gimana? Terus siapa yang mutusin?"
"Secara praktik ga ada kata 'putus'. Gue bilang mungkin memang udah jalan kita begini, toh dipaksain juga ga akan mengubah keadaan. Gue tau dia juga sebenarnya udah ga berusaha mempertahankan. Cuma entahlah, wanita kayaknya males banget terus terang. Dan akhirnya kita pisah baik-baik. That's all."

Langit sudah semakin gelap. Gue melirik jam tangan lagi untuk memastikan waktu. Hampir jam enam sekarang. Lampu-lampu sudah mulai dinyalakan. Dan suasana parkiran mulai ramai didatangi para mahasiswa yang bersiap pulang.

"Udah gelap, Cha. Lo ga pulang?" tanya gue.
"Yee, mengalihkan pembicaraan aja sih. Ntar ah, aku masih penasaran nih sama cerita kamu."
"Bukan gitu, gue juga mau siap-siap sholat Maghrib nih."
"Oh, yaudah deh. Tapi janji ya besok-besok sambung lagi obrolannya."
"Yeah, whatever."

Gue langsung beranjak berdiri dari tempat duduk dan menyelempangkan tas gue di bahu kiri. Icha juga melakukan hal yang sama. Kami berjalan berdampingan. Dia bergerak ke arah motornya yang terparkir dekat tempat kami duduk tadi. Sedangkan gue lurus menuju Masjid.

"Oh, iya Cha. Ada satu pembelajaran penting yang gue ambil dari kejadian kemarin."
"Apa?" dia tampak antusias, menatap gue dengan pandangan berbinar-binar.
"Ketika tak sanggup mempertahankan, kita hanya tinggal melepaskan." kata gue sambil memberikan senyum paling manis

Dan setelahnya gue berjalan lurus menuju Masjid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pion Putih Kecil

Aku adalah pion putih kecil. Tubuhku yang kecil dan ringkih ini selalu menjadi bulan-bulanan. Belum lagi langkahku ketika bergerak, terengah-engah menyusuri satu demi satu bidang papan peperangan. Lihatlah para petinggi, seperti Benteng yang dapat bergerak jauh, lurus maju ataupun menyamping. Atau Menteri yang dapat bergerak diagonal sejauh apapun yang dia mau. Atau seperti kanjeng Ratu yang dapat bergerak bebas mengombinasikan gerak Benteng dan Menteri. Atau sesederhana Kuda yang dapat bergerak melompati pasukan lain.

Angin dan Kenangan

Sekarang takdir membawaku ke sini. Sebuah pantai indah yang tersembunyi di ujung barat pulau Jawa. Tak banyak manusia yang berlalu lalang. Hanya ada aku dan hamparan pasir di sepanjang mata memandang. Suara debur ombak berkejaran menimbulkan harmoni yang menghanyutkan. Matahari terasa mulai menyengat walau ini masih pukul sembilan. Aku memutuskan bernaung di bawah sebuah pohon rindang yang bahkan tak kuketahui apa jenisnya. Daun-daun pohon bergemerisik saling bergesekan dihempas angin pantai yang jumawa. Dan seketika memori itu seakan ditarik dengan paksa dari ruang terdalam di pikiranku. Hempasan sang angin yang meneduhkan, membuatku nyaman. Seperti kenyamanan yang dulu telah kau berikan. Kenyamanan yang mengesankan. Membunuh pelan-pelan. Tanpa kau sadari.