Gue melirik jam tangan hitam di lengan kiri gue. Jarum pendek jam menunjuk ke angka lima sekarang. Sudah sore rupanya. Suasana kampus terlihat cukup sepi. Tinggal tersisa sekumpulan mahasiswa kerajinan yang masih ada di sini. Ada sebuah sudut di kampus dekat parkiran yang cukup teduh karena dinaungi sebuah pohon besar. Di sinilah gue berada. Duduk di bangku semen yang terletak paling ujung dekat pagar kawat. Dari sini gue bisa bebas melihat ke arah gedung perkuliahan tanpa terlihat oleh orang-orang di sana. Tempat yang sangat strategis untuk menyendiri di kala ga ada kelas. Gue buka notes kecil bersampul hitam gue dan mulai menuliskan apa saja. Sambil sesekali memperhatikan kegiatan mahasiswa di gedung kuliah. Terlihat sebagian mahluk-mahluk bajingan teman satu tongkrongan gue. Rasanya terlalu malas untuk gue samperin. Mereka ga akan bisa ngobrol kalau tanpa menghisap rokok. Gue ga suka baunya. Berlagak cuek aja toh mereka ga bisa lihat gue di sini. Gue kembali c...
aku akan meminta sesuatu yang sangat berharga tak tahukah kamu bahwa waktu tak bisa kembali? maka aku tak akan banyak merampasnya darimu ku cukupkan sepuluh menit saja sepuluh menit saja waktu ku susun kata-kata yang saling merangkai sepuluh menit saja dan biarkan ku tenggelam dalam kegugupanku sepuluh menit saja lalu ku raih dengan lembut kedua tanganmu sepuluh menit saja izinkan sejenak ku menghela nafas sepuluh menit saja ku tatap kedua bola mata mematikan itu sepuluh menit saja kubuang semua perasaan ngeri yang menertawakanku sepuluh menit saja lalu ketakutanku habis tak bersisa sepuluh menit saja dan akan terdengar puisi terindah di hidupmu bolehkah kuminta waktumu sepuluh menit saja? Jakarta, 27 Juli 2015 mengenang saat dulu menyatakannya padamu